Minggu, 07 November 2010

Ahlussunnah Bukan Sekuler ?

Ahlussunnah Bukan Sekuler ? (Syubhat Khawarij Ke-4)

Penulis Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed

Di antara tuduhan-tuduhan keji khawarij gaya baru (KGB) terhadap ahlus sunnah dan salafiyyun adalah ucapan mereka: “Ahlus sunnah sekuler yakni memisahkan agama dari negara” dan “Ahlus sunnah adalah murji’ah terhadap penguasa”.

Sebelum kita membantah tuduhan khawarij ini, perlu kita dudukkan makna sekulerisme dan apa yang dimaksud oleh KGB bahwa ahlus sunnah memisahkan agama dari negara.

Pemikiran sekulerisme didasari oleh paham Yunani yang mengatakan “apa yang untuk tuhan berikan untuk tuhan, dan apa yang untuk kaisar berikan untuk kaisar”. Jadi bagi kaum sekuler, agama tidak boleh menjadi dasar dari terbentuknya sebuah negara. Bahkan ia merupakan bagian yang terpisahkan dari Negara.

Kemudian tujuan KGB mengatakan terhadap ahlus sunnah sebagai kaum sekuler, perlu kita tanyakan kepada mereka: Apa maksudnya? Agar kita bisa membantah dengan tepat sesuai dengan apa yang mereka maksudkan. Karena ada dua kemungkinan makna dari tuduhan mereka:

Pertama: Jika mereka memaksudkan ahlus sunnah tidak pernah ikut campur dengan urusan tata negara, penempatan tentara, pembangunan-pembangunan atau karena tidak mau ikut-ikutan dalam hura-hura bid’ah demokrasi dan lain-lain; maka kita katakan: “Ya”. Ahlus sunnah wal jama’ah tidak akan masuk dalam kebid’ahan mereka dan tidak ikut campur terhadap haknya penguasa, karena itu termasuk munaza’ah, yaitu merebut dan mencampuri urusan penguasa yang dilarang oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alahi wasallam berdasarkan hadits yang shahih:

( فَبَايَعْنَا فَكَانَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِيْ مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ. قَالَ: إِلاَّ أَنْ تَرَوا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ. (متفق عليه) دَعَانَا رَسُوْلُ اللهِ

Rasulullah Shallallaahu ‘alahi wasallam memanggil kami kemudian membaiat kami dan diantara baiatnya adalah agar kami bersumpah setia untuk dengar dan taat ketika kami semangat ataupun tidak suka, ketika dalam kemudahan ataupun dalam kesusahan, ataupun ketika kami diperbuat secara tidak adil, dan hendaklah kami tidak merebut urusan dari orang yang berhak –beliau berkata—kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti di sisi Allah” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits ini Rasulullah Shallallaahu ‘alahi wasallam melarang kita untuk mencampuri urusan dari orang-orang yang berhak, –yaitu para penguasa– kecuali jika tampak pada mereka kekufuran yang nyata.

Kedua: Namun jika mereka memaksudkan dengan kalimat tersebut bahwa ahlus sunnah tidak membicarakan tentang hukum-hukum dan tata cara yang syar’i yang berkaitan dengan kekuasaan dan tata negara, atau ahlus sunnah tidak menasehati dan beramar ma’ruf nahi mungkar kepada penguasa dan pemerintah, maka ini adalah kedustaan yang nyata.

Para ulama ahlus sunnah sejak dahulu sampai hari ini dan para pengikut mereka dari para pencari ilmu –salafiyyun– selalu membahas ilmu-ilmu yang berkaitan dengan jama’ah (negara Islam), imamah (Kepemimpinan) dan baiat (sumpah setia kepada penguasa). Kitab-kitab yang ditulis oleh mereka tentang masalah politik dan tata negara sangat banyak. Seperti Al-Ahkamus Sulthaniyyah (hukum-hukum penguasa) karya al-Mawardi dan Abu Ya’la, Asy-Siyasah Syar’iyyah (Politik Syariat) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan As-Sa’di, hakekatus Syura fil Islam (Hakekat musyawarah dalam Islam) dan Lil Jaziiratil Arabiyyah Khususiyyah Falaa Tanbutu Demokratiah (Jazirah Arab memiliki keistimewaan yang khusus, tidak akan tumbuh demokratisme padanya) oleh Syaikh muhammad Aman Al-Jamii dan lain-lain.

Dan masih banyak lagi para ulama yang menulis perkara-perkara yang berkaitan dengan politik, tata negara, kekuasaan dan sekitarnya, bahkan hampir setiap kitab yang menulis tentang manhaj salaf –ahlus sunnah wal jama’ah– selalu menulis satu bab yang khusus untuk menerangkan sikap rakyat yang syar’i terhadap para penguasa dan tata cara menasehati penguasa.

Dengan ini jelaslah kebatilan tuduhan khawarij terhadap ahlus sunnah dengan sekulerisme.

Adapun tuduhan mereka bahwa ahlus sunnah murji’ah terhadap penguasa adalah karena tidak mau mengikuti mereka untuk mengkafirkan para penguasa, menghalalkan darah mereka kemudian memerangi mereka. Ini merupakan kebodohan mereka yang berikutnya. Mereka menuduh ahlus sunnah sebagai murji’ah dalam keadaan tidak mengerti bagaimana pendapat murji’ah.

Sesungguhnya murji’ah adalah aliran sesat yang menyatakan bahwa amalan dosa sebesar apapun tidak akan mempengaruhi keimanan. Keimanan tidak bertambah dan tidak berkurang. Sehingga para ulama menganggap mereka sebagai aliran sesat yang menyamakan imannya munafik dengan imannya Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhu, bahkan sama dengan imannya malaikat Jibril dan Mikail.

Berkata Syariik rahimahullah :”sejelek-jelek kaum adalah Rafidhah tetapi murji’ah berdusta atas nama Allah.(As-Sunnah oleh Imam Al-Khallal 4/41, lihat Irsyadul Bariyyah hal.125).

Berkata Mansyur Ibnul Mu’tamar :”musuh-musuh Allah adalah murji’ah dan rafidhah”.(Ushulul I’tiqad ahlus sunnah oleh Al-Lalikai juz 5 hal. 992).

Berkata Abdullah bin Thahir :”demi Allah aku tidak berani mengatakan bahwa imanku seperti Yahya bin Yahya atau Imam Ahmad tetapi mereka mengatakan imannya seperti imannya malaikat Jibril dan Mikail”.(Aqidatus Salaf wa Ashabul Hadits hal. 84).

Adapun ahlus sunnah menyatakan bahwa mereka-mereka yang berdosa, bermaksiat, berbuat dzalim adalah orang-orang fasik atau mukmin yang lemah imannya. Mereka tidak keluar dari islam selama tidak ada amalan-amalan kufur yaitu kesyirikan yang besar atau penentangan kepada allah subhanahu wata’ala dan rasulnya (kufrul juhud).(lihat edisi….) Mereka tidak kafir seperti anggapan khawarij, tidak pula mukmin yang sempurna imannya seperti anggapan murji’ah. Disinilah letak keistimewaan ahlus sunnah wal jamaah, mereka berada di tengah-tengah antara dua titik ekstrim, Murji’ah dan Khawarij.

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Al-Baqarah : 143)

Tuduhan KGB ini persis seperti tuduhan para pendahulunya dari kalangan khawarij. Sebagaimana diucapkan oleh para ulama.

Khawarij menuduh ahlus sunnah sebagai murji’ah, sebaliknya murji’ah menuduh ahlus sunnah sebagai khawarij. Rafidlah yang ghuluw kepada Ali menuduh ahlus sunnah adalah musuh ahlul bait, qadariyah (para penolak takdir) menuduh ahlus sunnah dengan jabriyah (menolak adanya ikhtiar) dan sebaliknya jabriyah menuduh ahlus sunnah sebagai qadariyah. Begitulah seterusnya, sejak dulu ahlul bid’ah selalu menuduh ahlus sunnahd engan tuduhan-tuduhan keji karena tidak mau mengikuti kebid’ahan-kebid’ahan dan kesesatan-kesesatan mereka.

Sumber : Buletin Manhaj Salaf, Edisi: 34Th. I Tanggal 29 Jumadil Awal 1425 H/25 Juni 2004 M

Tidak ada komentar: