Jumat, 25 Desember 2009

Fiqih Shalat Subuh

Oleh Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin
Senin, 19 Oktober 2009 - 06:44:50
Hit: 737







Banyaknya manusia yang lalai dari sholat Subuh, baik dalam pelaksaannya maupun dalam mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengannya, telah menimbulkan berbagai dampak negatif dalam kehidupan masyarakat muslim. Maka berikut ini kami ketengahkan beberapa fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin -Salah seorang ulama besar Saudi Arabia- rahimahullâh berkaitan dengan sholat Subuh. Semoga bermanfaat bagi para pembaca.

Soal 1 :
Apakah lebih baik memanjangkan sholat shubuh, khususnya (memanjangkan) bacaannya ?

Jawab:
Ya, termasuk sunnah dalan sholat shubuh hendaknya memanjangkan bacaannya. Dan hendaknya dari bacaan yang panjang diambil dari surat-surat Mufashshal yaitu dari surah Qaaf sampai Amma (An-Naba`,-pent) kemudian memanjangkan bacaannya, demikian pula memanjangkan ruku’ dan sujudnya lebih dari yang lainnya.

Soal 2 :
Seorang lelaki terkena junub beberapa menit sebelum sholat shubuh, apakah dia tayamum atau mandi ? Jika mandi, barangkali dia akan kehilangan sholat shubuh (berjama’ah, -pent), perlu diketahui bahwa sholat telah ditegakkan.

Jawab :
Wajib baginya untuk mandi sekalipun kehilangan sholat berjama’ah, karena mandi dari junub termasuk syarat sahnya sholat menurut kesepakatan (para ulama). Adapun sholat berjama’ah wajib dan tidak mungkin bertentangan dengan syarat yang wajib.

Soal 3 :
Jika sekelompok orang dalam perjalanan (safar), kemudian salah satu dari mereka terkena junub, apakah dia harus mandi atau tayamum, perlu diketahui bahwa waktunya pendek dan saat itu musim dingin yang sangat menusuk, apa yang mesti dilakukan ?

Jawab :
Jika mengkhawatirkan akan dirinya dari bahaya jika harus mandi, atau air hanya sedikit yang mereka butuhkan untuk minum dan masak, maka dia boleh tayamum. Dan jika air itu banyak atau mungkin bisa menjaga dingin dengan menjerangnya dan mandi di tempat yang terjaga dari hawa dingin, maka wajib baginya untuk mandi.

Soal :
Banyak dari para imam yang terus menerus membaca beberapa surah yang di dalamnya ada ayat sajadah khususnya hari jum’at, apakah hal itu ada dasarnya atau tidak ?

Jawab :
Adapun membaca ayat-ayat yang di dalamnya ada ayat sajadah maka tidak mengapa untuk membacanya, berdasarkan firman Allah Ta’âlâ,

"Karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur`ân." (QS. Al-Muzzammil : 20)
Adapun membaca ayat sajadah pada hari jum’at, maka yang disyari’atkan adalah hendaknya seseorang membaca, Alif Laam Miim Tanzil yakni surah As-Sajadah pada raka’at pertama dan Hal Atâ ‘Alal Insân (Yaitu surah Al-Insân,-pent.) pada raka’at yang kedua. Bukanlah yang dimaksud dengan Alif Laam Miim Tanzil adalah surah yang di dalamnya ada ayar sajadah tapi yang dimaksudkan adalah surah (As-Sajadah) itu sendiri. Jika mudah baginya untuk membaca (surah As-Sajadah) pada raka’at pertama dan pada Hal Atâ ‘Alal Insân raka’at kedua, maka inilah yang disyari’atkan. Kalau tidak, maka janganlah menyengaja membaca surat yang di dalamnya ada ayat sajadah sebagai ganti dari surat As Sajadah.

Soal 5 :
Banyak orang yang mereka memiliki kesiapan yang sempurna untuk menunaikan sholat subuh, kemudian meletakkan semua sebab namun tidak juga menunaikan sholat, maka apa yang mesti kita nasehatkan terhadap orang-orang seperti mereka? Apa hukum sholatnya setelah dia bangun? Apa dia berdosa?

Jawab :
Wajib baginya untuk mengerjakan semua sebab yang menjadikannya dia mengikuti sholat shubuh dengan berjama’ah, diantaranya dengan tidur lebih awal, karena sebagian orang suka terlambat tidur dan mereka tidak tidur kecuali menjelang shubuh kemudian tidak mampu untuk bangun sekalipun sudah memasang jam weker dan menyuruh orang untuk membangunkannya. Oleh karena itu, kami menasehati dia dan orang yang seperti dia agar mereka tidur lebih awal sehingga bisa bangun dengan mudah dan mengikuti sholat berjama’ah.

Adapun apakah dia berdosa ? Ya, dia berdosa jika sebabnya adalah hal seperti ini, baik karena keterlambatan tidur atau karena meninggalkan kehati-hatian untuk bisa bangun maka dia berdosa.

Soal 6 :
Sekelompok orang dalam rihlah atau safar, kemudian mereka semua tertidur dari sholat shubuh dan tidak bangun kecuali setelah matahari terbit, apakah mereka mengqadha’ sholat dengan berjama’ah atau sendiri-sendiri ? Apakah imam mengeraskan bacaannya, sementara mereka menunaikannya pada saat seperti ini ?

Jawab :
Ya, jika ditaqdirkan mereka sekelompok orang dalam safar dan semua tertidur dan tidak bangun kecuali setelah matahri terbit, maka hendaknya mereka berjalan dulu dari tempat mereka berada, kemudian wajib dikumandangkan adzan dan sholat sunnah rawatib fajar kemudian iqamah dan mereka menunaikan sholat secara berjama’ah dan imam mengeraskan bacaannya sebagaimana telah dikerjakan oleh Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa sallam.

Soal 7

Ada sebagian orang yang memberi perhatian khusus sholat shubuh berjama’ah hanya di bulan Ramadhan saja dan tidak mengerjakannya di bulan yang lain, apa nasehat anda kepada mereka ?

Jawab :

Saya nasehatkan kepada mereka agar bertaqwa kepada Allah Ta’âlâ dalam semua waktunya baik di bulan Ramadhan atau di bulan yang lainnya karena manusia diperintahkan untuk beribadah kepada Allah Ta’âlâ sampai maut mendatanginya, Allah Ta’âlâ berfirman,
" Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)." (QS. Al Hijr : 99)

Soal 8 :

Apa hukum orang yang luput baginya sholat shubuh secara berjama’ah karena membangunkan anak-anaknya ? Apa nasehat anda ?

Jawab :

Saya nasehatkan agar membangunkan anak-anaknya sebelum adzan sehingga bisa menunaikan sholat berjama’ah, tidak halal baginya untuk meninggalkan sholat berjama’ah lantaran membangunkan anak-anaknya. Jalan keluarnya adalah dengan membangunkan mereka lebih awal dalam tempo yang bisa untuk membangunkan mereka dan mendapatkan sholat berjama’ah. Adapun membiarkan mereka sampai terdengar adzan kemudian bangkit membangunkan mereka, maka terkadang anaknya banyak dan tidurnya lelap maka ini berarti sikap ceroboh darinya.

Soal 9 :

Apa hukum orang yang menunaikan semua sholat (dengan berjama’ah) kecuali sholat shubuh ?

Jawab :

Dia berdosa dengan meninggalkan sholat shubuh berjama’ah, wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah Ta’âlâ dan menunaikan sholat shubuh dengan berjama’ah. Maka dikhawatirkan dengan kumunafikan pada orang yang seperti itu keadaannya karena Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَثْقَلُ الصَّلَوَاتِ عَلَى الْمُنَافِقِيْنَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِيْهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

"Sholat yang paling berat terhadap orang-orang munafiqin adalah sholat Isya’ dan sholat Subuh, jika mereka mengetahui (keutamaan) apa yang ada pada keduanya (yakni sholat Isya’ dan sholat Subuh) pasti mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak." (Muttafaq ‘alaih)

Soal 10 :

Apakah imam masjid bertanggung jawab dengan sholat berjawab ? Apa nasehat anda kepadanya ?

Jawab

Tidaklah imam masjid bertanggung jawab dengan jama’ahnya, namun hendaknya dia mengingatkan mereka dengan nasehat dan bimbingan. Baik nasehat itu bersifat umum yang dia berbicara terhadap mereka di masjid atau secara khusus dimana ketika melihat sesorang menggampangkan (sholat berjama’ah) kemudian dia datangi dan menasehatinya, maka dia bertanggung jawab terhadap mereka dalam hal yang berkaitan dengan sholat. Artinya hendaknya dia mengerjakan dalam sholatnya dengan cara yang lebih sempurna, tidak terburu-buru yang menghalangi mereka untuk melakukan hal-hal yang disyari’atkan.

Soal 11 :

Apa hukum orang yang tertidur dari sholat Isya’ kemudian bangun untuk sholat shubuh dan menunaikannya, namun di tengah-tengah sholatnya dia ingat belum mengerjakan sholat Isya’, apakah dia menyempurnakan sholat subuhnya atau apa yang musti dikerjakan ?

Jawab :

Ya, dia menyempurnakan sholat shubuhnya kemudian sholat Isya’.

Soal 12 :

Apakah cukup dengan adzan pertama untuk mengerjakan sholat shubuh sebelum waktunya ?

Jawab :

Tidak cukup dengan adzan pertama untuk mengerjakan sholat shubuh, karena adzan untuk sholat itu tidak dikerjakan kecuali setelah masuk waktunya, karena Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا حَضَرَتِ الصّلَاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدَكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرَكُمْ قُرْآنًا

"Jika sudah tiba waktu sholat maka hendaknya salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan dan mengimami kalian yang paling banyak (hafalan) Al-Qur`annya."

Soal 13 :

Apa hukum orang yang memasang jadwal waktu kerja resmi dan sholat shubuh dalam waktu tersebut, baik itu jam tujuh atau jam setengah tujuh, apakah dia berdosa, bagaimana hukum sholatnya ?

Jawab :

Dia berdosa dalam perbuatannya itu tanpa ada keraguan dan dia termasuk orang yang lebih mementingkan dunia mengalahkan akhiratnya. Allah Ta’âlâ telah mengingkarinya dalam firman-Nya,

"Tetapi kamu (orang-orang) kafir memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal." (QS. Al-A’lâ : 16-17)

Sholatnya yang seperti ini tidak akan diterima dan bisa lepas dari tanggung jawabnya, kelak dia akan dihisab karenanya pada hari kiamat maka wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah Ta’âlâ dan hendaknya sholat bersama kaum muslimin kemudian tidur setelah itu sampai waktu kerja resminya.

Soal 14 :

Apa nasehat anda secara umum kepada semua laki-laki dan perempuan?

Jawab :

Saya nasehatkan kepada setiap muslim untuk menjaga sholat shubuhnya dan sholat-sholatnya yang lain karena sholat merupakan tiang agama yang merupakan ibadah yang paling pokok setelah mengucapkan dua kalimah syahadat. Barang siapa meninggalkannya maka dia telah kafir dan barang siapa yang menyia-nyiakannya maka dia dalam bahaya. Allah Ta’âlâ berfirman,

"Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kesesatan. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dantidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun." (QS. Maryam : 59-60)

Maka jika mereka bertaubat dan beramal shalih, diharapkan mereka termasuk orang-orang yang mendapatkan janji dari Allah Ta’âlâ dengan firman-Nya,

"Maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun." (QS. Maryam : 60)

Soal 15 :

Seorang laki-laki luput baginya sholat subuh berjama’ah bersama kaum muslimin, apakah dia sholat rawatib atau cukup sholat shubuh saja ? Perlu diketahui bahwa jama’ah sudah keluar dari masjid.

Jawab :

Dan dahulukan sunnah (rawatib) dari sholat yang wajib (shubuh) karena rawatibnya sholat shubuh adalah sebelum mengerjakan sholat shubuh, sekalipun orang-orang yang sholat telah keluar dan sekalipun telah keluar dari waktunya.

Soal 16 :

Jika orang-orang menunaikan sholat ‘Idul Fitri di tempat sholat shubuh maka apakah makan beberapa butir kurma sebelum sholat shubuh atau lebih utama pulang kepada keluarganya kemudian membuat langkah baru untuk menunaikan sholat ‘ied ?

Jawab :

Jika tidak mungkin untuk pulang, kita katakan : Jangan keluar dari rumah sampai makan dahulu karena keluarmu dari rumah dengan menunaikan sholat shubuh dan sholat ‘ied.

Soal 17 :

Jika seorang muadzin lupa mengucapkan "Ash-Sholâtu Khairun Minan Naum" apa yang mesti dia lakukan ?

Jawab :

Jika seorang muadzin lupa mengucapkan "Ash-Sholâtu Khairun Minan Naum" maka yang dikenal oleh para ulama bahwa adzannya sah, karena ucapan "Ash-Sholâtu Khairun Minan Naum" dalam adzan shubuh itu hukumnya sunnah bukan wajib dengan dalil bahwa Abdullah bin Zaid radhiyallâhu ‘anhu ketika melihat adzan dalam tidurnya, beliau melihatnya dan tidak ada lafadz ini maka ucapan ini adalah tidak wajib dan jika dikumandangkan oleh sesorang dalam adzan shubuh setelah masuk waktu shubuh maka itu lebih utama dan jika tidak melafadzkannya maka tidak mengapa.

Soal 18 :

Sesorang ketinggalan satu raka’at dari sholat shubuh, apakah dia menyempurnakan dengan jahr (bacaan keras) atau sirr (bacaan pelan) ?

Jawab : Dia boleh memilih, namun lebih utama untuk menyempurnakannya dengan sirr karena barangkali ada orang lain yang menunaikannya maka akan mengganggunya jika dikeraskan bacaannya.

Soal 19 : Saya duduk (di dalam masjid,-pent) sampai terbit matahari dan belum mengerjakan sholat sunnah sebelum shubuh, apakah cukup dengan mengerjakan sholat sunnah Isyraq tanpa mengerjakan sholat sunnah sebelum shubuh ?

Jawab : Apakah kita katakan sampai Isyraq atau sampai Syuruq? Syuruq adalah terbitnya matahari sebelum naik sampai sepenggalah dan Isyraq adalah menyebarnya cahaya matahari. Yang jelas jika kamu menunaikan sholat Isyraq maka itu belum mencukupi dari mengerjakan sholat sunnah sebelum shubuh dan jika mengerjakan sholat sunnah sebelum shubuh ini juga tidak mencukupi, karena zhahirnya adalah seorang muslim mengerjakan dua raka’at khusus untuk Isyraq dan hal ini lebih hati-hati. Maka dia mengerjakan sholat sunnah fajar kemudian sholat sunnah Isyraq.

Soal 20 :

Saya mendengar hadits –Wallähu A’lam- yakni,

مَنْ صَلَّى الْفَجْرَ فِيْ جَمَاعَةٍ ثُمَّ جَلَسَ يَذْكُرُ اللهَ حَتَّى طَلَعَتِ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةً تَامَّةً تَامَّةً

"Barang siapa yang sholat shubuh berjama’ah kemudian duduk berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit kemudian sholat dua raka’at maka baginya seperti pahala haji dan umrah sempurna, sempurna dan sempurna."

Pertanyaan : Apakah hadits ini shahih atau lemah? Mudah-mudahan Allah membalas anda dengan kebaikan.

Jawab :

Hadits ada syahidnya dalam shahih Muslim bahwa Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam jika sholat shubuh beliau duduk di tempat sholatnya sampai terbit matahari adalah hasan, namun yang ada dalam shahih tidak menyebutkan bahwa Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam sholat sesudah itu. Dan hadits yang disebutkan oleh penanya adalah tidak mengapa dan sanadnya adalah hasan.

Sumber :
http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=F
SEBUAH RENUNGAN

Oleh Al Imam Ibnul Qayyim
Kamis, 24 Desember 2009 - 22:14:21
Hit: 152







Hari berganti hari, tahun berganti tahun, tiada terasa begitu banyak hal-hal yang telah kita perbuat, sedangkan usia semakin menggiring kepada kematian, tapi tidak seorang pun dari kita yang mengetahui apakah amalannya diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala atau justru ia tertolak sehingga menjadi orang yang merugi.
Pergantian tahun merupakan momen penting bagi kita untuk introspeksi (muhasabah), melihat kembali apa yang telah kita kerjakan pada masa yang lalu untuk berbuat lebih baik di sisa waktu. Semoga tulisan kali ini dapat memberi sedikit pencerahan kepada kita dalam meningkatkan kualitas iman dan ketakwaan kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, amiin.

Muhasabah (menghisab) diri ada dua macam: menghisab sebelum berbuat dan menghisab sesudahnya.
Adapun yang pertama (menghisab sebelum berbuat) adalah berfikir pada awal perencanaan dan kehendaknya dan tidak langsung berbuat sampai jelas baginya mana yang baik, melakukan rencananya atau meninggalkannya.
Al Hasan Al Bashri Rahimahullah berkata, “Allah merahmati seseorang yang berfikir pada awal perencanaannya, apabila (rencananya itu) karena Allah ia lanjutkan, dan apabila karena selainnya ia tinggalkan.”
Sebagian ulama menjabarkan hal ini: apabila jiwa seseorang tergerak mengerjakan sesuatu, hendaknya ia merenung dan mengamati apakah rencananya itu dalam batas kesanggupannya atau tidak? Apabila ia di luar batas kesanggupannya, hendaknya ia berhenti. Sedangkan apabila masih dalam batas kesanggupannya, hendaknya ia merenung dan mengamati kembali, apakah menjalaninya yang lebih baik ataukah meninggalkannya. Apabila jawabannya yang kedua, hendaknya ia meninggalkannya dan tidak menjalaninya. Sedangkan apabila jawabannya yang pertama, ia merenung dan mengamati sekali lagi, apakah motivasinya mengharapkan wajah Allah Azza Wa Jalla dan pahala-Nya atau mengharapkan kedudukan, pujian dan harta dari makhluk? Apabila jawabannya yang kedua, hendaknya ia tidak menjalaninya meskipun rencananya membantunya meraih harapan-harapannya, agar jiwanya tidak terbiasa dengan kesyirikan sehingga menjadi ringan baginya berbuat bukan karena Allah, karena semakin ringan bagi seseorang berbuat demikian semakin berat pula baginya berbuat karena Allah Ta’ala, hingga ikhlas menjadi perkara yang terberat bagi dia.
Sedangkan apabila jawabannya adalah yang pertama, ia merenung dan mengamati lagi apakah faktor-faktor yang memudahkan terpenuhi, ia memiliki rekan-rekan yang siap membantu atau membelanya, apabila rencananya tersebut membutuhkan orang-orang yang membantunya? Apabila ia tidak memiliki rekan-rekan yang membantunya, hendaknya ia menahan dirinya sebagaimana Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabar dari berjihad di Makkah sampai ia memiliki kekuatan dan shahabat-shahabat yang membelanya. Dan apabila ia memiliki rekan-rekan yang menolongnya, silahkan ia lanjutkan karena sesungguhnya ia akan menang.
Keberhasilan tidak akan pergi kecuali dari orang yang menelantarkan salah satu dari perkara-perkara ini, karena kapan perkara-perkara di atas terpenuhi pada seseorang keberhasilan pasti menyertainya.
Ini adalah empat tingkatan, seseorang perlu menghisab dirinya pada tingkatan-tingkatan tersebut sebelum berbuat. Karena tidak semua yang ingin dilakukan seseorang, di dalam batas kesanggupannya. Dan tidak semua yang ia sanggupi, mengerjakannya lebih baik dari meninggalkannya. Dan tidak semua yang mengerjakannya lebih baik dari meninggalkannya, seseorang mengerjakannya karena Allah. Dan tidak semua yang niatnya karena Allah faktor-faktor pendukungnya terpenuhi. Apabila seseorang menghisab dirinya di atas empat tingkatan ini jelaslah baginya mana yang harus ia kerjakan dan mana yang harus ia tinggalkan.
Yang kedua: Menghisab diri sesudah berbuat. Dan hal ini ada tiga macam. Yang pertama, menghisab diri atas suatu ketaatan yang usai ia kerjakan namun ia kurang memenuhi hak Allah Subhanahu Wa Ta'ala padanya, sehingga ia belum menunaikannya dalam bentuk yang seharusnya.
Dan hak Allah di dalam suatu amalan ketaatan ada enam macam: ikhlas dalam berbuat, totalitas dalam beribadah kepada-Nya, mencontoh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam pelaksanaannya, mengakui segala karunia dan anugrah-Nya dan setelah itu mengakui kurangnya dia dalam memenuhi semua itu.
Maka ia menghisab dirinya apakah ia telah memenuhi hak tingkatan-tingkatan ini? Apakah ia sudah mendatangkan itu semua dalam ketaatan yang telah ia kerjakan ini?
Kedua, menghisab diri atas setiap perbuatan yang telah ia kerjakan, namun meninggalkannya lebih baik dari melakukannya.
Ketiga, menghisab dirinya atas perkara mubah atau kebiasaan yang telah ia kerjakan, kenapa ia kerjakan? Apakah ia mengerjakannya karena mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat? Sehingga ia menjadi orang yang beruntung, atau mengharapkan dunia dan kesenangannya yang sesaat, sehingga ia merugi tidak beruntung!

Sumber :
Al Imam Ibnul Qayyim, Mawaridul Aman Al Muntaqa Ig

Kamis, 24 Desember 2009

KEUTAMAAN BERPUASA DIBULAN MUHARRAM

KEUTAMAAN BERPUASA DIBULAN MUHARRAM PDF Cetak
Dibaca: 229 kali.

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu karimah Askari bin Jamal Hafidzahulloh
Kamis, 10 Desember 2009 00:10

Bulan muharram, merupakan salah satu bulan yang dimuliakan didalam islam. Sebelum diwajibkan berpuasa pada bulan ramadhan, tanggal 10 muharram atau yang disebut hari Asyura' merupakan puasa yang diwajibkan bagi kaum muslimin.

Berkata Aisyah radhiallahu anha:

كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِى الْجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَصُومُهُ ، فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ ، فَلَمَّا نَزَلَ رَمَضَانُ كَانَ رَمَضَانُ الْفَرِيضَةَ ، وَتُرِكَ عَاشُورَاءُ ، فَكَانَ مَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ لَمْ يَصُمْهُ

"hari Asyura' adalah puasa yang dilakukan kaum Qurays pada masa jahiliyyah,dan Nabi Shallallahu alaihi wa-aalihi wasallam berpuasa.Tatkala Beliau tiba di Madinah beliau tetap berpuasa, dan Beliau memerintahkan untuk berpuasa padanya.Maka tatkala turun (kewajiban puasa) ramadhan, maka ramadhan menjadi wajib, dan ditinggalkan (kewajiban) puasa Asyura', maka siapa yang ingin silahkan dia berpuasa, dan siapa yang ingin boleh untuk tidak berpuasa."

(Muttafaq alaihi)

Dan dari Abu Musa Al-Asy'ari radhiallahu anhu bahwa Beliau berkata:

"hari Asyura' adalah merupakan hari yang bangsa Yahudi menganggap itu sebagai hari raya. Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa aalihi wasallam bersabda:

« فَصُومُوهُ أَنْتُمْ »

"berpuasalah kalian padanya."

(HR.Bukhari:2005)

Secara umum, berpuasa pada bulan muharram merupakan amalan yang disunnahkan oleh Nabi kita Shallallahu Alaihi wasallam, pada waktu dan tanggal yang mana saja dibulan muharram, dianjurkan berpuasa. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam bersabda:

« أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ »

"puasa yang paling afdhal setelah ramadhan adalah puasa dibulan Allah "Muharram", dan shalat yang paling afdhal setelah shalat wajib adalah shalat lail".

(HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa bulan muharram secara umum, disunnahkan untuk berpuasa dihari yang mana saja, tanpa tertentu waktu dan tanggalnya.Namun lebih dianjurkan dan ditekankan berpuasa pada tanggal 10 muharram, yang disebut hari Asyura'. disebut Asyura' dari kata 'aasyirah, yang berarti malam kesepuluh. Lalu kemudian menjadi satu nama bagi hari kesepuluh tersebut. Meskipun terjadi silang pendapat dikalangan para ulama tentang apa yang dimaksud hari asyura', namun mayoritas para ulama menetapkan bahwa yang dimaksud adalah hari kesepuluh dibulan muharram.

(Fathul bari, Ibnu Hajar:6/280, maktabah syamilah).

Dalam riwayat Muslim, Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam ditanya tentang berpuasa asyura', maka Beliau menjawab:

« يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ »

"menghapus kesalahan setahun yang lalu."

(HR.Muslim:2804)

Dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam bersabda:

وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ

"Berpuasa pada hari Asyura' , aku berharap Allah Azza wajalla menghapus kesalahan setahun yang lalu."

(HR.Muslim)

Sehingga Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam senantiasa menjaga untuk memelihara puasanya pada hari Asyura', dan Beliau berusaha untuk tidak meninggalkannya. Berkata Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma:

مَا رَأَيْتُ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ ، إِلاَّ هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ . يَعْنِى شَهْرَ رَمَضَانَ

"Aku tidak pernah melihat Nabi Shallallahu alaihi wasallam menjaga satu puasa yang Beliau lebih mengutamakan diatas yang lainnya, kecuali hari ini yaitu hari Asyura', dan bulan ini yaitu bulan ramadhan."

(muttafaq alaihi)

Demikian pula pada tanggal Sembilan dari bulan muharram ditekankan pula untuk berpuasa padanya, berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata:

لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع

"jika aku masih hidup dimasa mendatang,aku akan berpuasa pada hari kesembilan."

(HR.Muslim:1134)

Dalam riwayat lain dengan lafazh:

إن عشت إن شاء الله إلى قابل صمت التاسع مخافة أن يفوتني يوم عاشوراء

"Jika aku insya Allah masih hidup dimasa mendatang, aku akan berpuasa pada hari kesembilan, karena khawatir aku tertinggal berpuasa pada hari asyura'."

(HR.Thabarani dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma,dishahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah:350)

Sebagian juga ada yang menyebutkan anjuran berpuasa pada tanggal sebelas, berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bahwa RAsulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

« صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً »

"berpuasalah pada hri asyura',dan selisihilah bangsa yahudi, berpuasalah sebelumnya satu hari dan setelahnya satu hari."

(HR.Ahmad (5/217),Ibnu Khuzaimah (3039),Al-Baihaqi (2/443)

Namun hadits ini sanadnya lemah,dalam sanadnya ada seorang perawi yang bernama Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila Al-Anshari, dia sangat buruk hafalannya. Demikian pula Dawud bin Ali Al-Qurasyi Al-Hasyimi, terdapat kelemahan padanya. Sehingga hadits ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

وَعَلَى هَذَا فَصِيَام عَاشُورَاء عَلَى ثَلَاث مَرَاتِب : أَدْنَاهَا أَنْ يُصَامَ وَحْدَهُ ، وَفَوْقَهُ أَنْ يُصَام التَّاسِعُ مَعَهُ ، وَفَوْقَهُ أَنْ يُصَامَ التَّاسِعُ وَالْحَادِي عَشَرَ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

Berdasarkan hal ini maka berpuasa hari asyura' ada tiga tingkatan: yang terendah adalah berpuasa hanya pada hari kesepuluh, kemudian diatasnya adalah berpuasa pada hari kesembilan bersamanya,dan diatasnya adalah berpuasa pada hari kesembilan dan kesebelas, wallahu a'lam.

(fathul bari:6/280)

Namun sebagaimana yang telah kita jelaskan, bahwa hadits yang menyebutkan sehari setelahnya adalah hadits yang lemah.Namun tetap dibolehkan berpuasa pada hari tersebut berdasarkan keumuman hadits tentang anjuran berpuasa pada bulan muharram.

Hanya saja, puasa muharram sama seperti puasa sunnah lainnya, yang tidak diperbolehkan menyendirikan satu puasa pada hari jum'at, namun hendaknya dibarengi dengan puasa sehari sebelum atau sesudahnya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam bersabda:

« لاَ يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، إِلاَّ يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ »

"jangan sekali-kali salah seorang kalian berpuasa pada hari jum'at,kecuali jika dia berpuasa sehari sebelumnya atau setelahnya."

(HR.Bukhari dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)

kecuali puasa Dawud Alaihis salaam,karena adanya riwayat-riwayat yang shahih yang menjelaskan bahwa puasa Dawud adalah puasa yang paling utama. Wallahul Muwaffiq.

Siapa Bilang Rokok Haram ?
Dikirim oleh webmaster, Jum'at 04 Desember 2009, kategori Aqidah
Penulis: Redaksi Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 110 Tahun II
.: :.
Rokok adalah barang sial yang banyak menjangkiti kebanyakan kaum muslimin, apalagi orang-orang kafir. Barang ini betul-betul mencekoki otak para pecandunya. Ketika dinasihati bahwa rokok itu haram! Mereka akan menyatakan, "Siapa bilang rokok haram!!"

Menjawab pernyataan ini, kami tegaskan bahwa rokok telah diharamkan oleh para ulama besar kita berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.Keharaman ini umum mencakup laki-laki, maupun wanita, orang besar atau anak kecil!!! Haramnya rokok telah diketahui secara aksiomatik oleh semua orang sampai semua dokter, perusahaan rokok, pemerintah, bahkan semua orang yang berakal sehat ikut mengharamkannya. Adapun para pecandu rokok yang ditunggangi dan dibutakan oleh hawa nafsunya, maka mereka ini tak perlu ditoleh ucapannya dalam menghalalkan rokok. Tapi tolehlah fatwa-fatwa dan pernyataan ulama dan orang-orang yang berakal sehat.

Buletin Mungil At-Tauhid kali ini akan menyodorkan beberapa fatwa ilmiah kepada pembaca budiman agar menjadi ibroh (pelajaran); fatwa ini berisi pernyataan haramnya rokok. Para ulama yang kami akan nukilkan fatwanya adalah para ulama terpercaya, tidak terseret hawa nafsu, dan tidak segan menyatakan kebenaran, walaupun banyak yang tersinggung.

Pembaca yang budiman, para ulama kita di Timur Tengah telah lama menyatakan haramnya rokok, jauh sebelum para dokter "mengharamkannya". Sebagian penanya pernah melayangkan pertanyaan kepada ulama besar kita di Timur Tengah yang tergabung dalam "Al-Lajnah Ad-Da’imah" (Lembaga Fatwa).

* Soal Pertama: Hukum Shoalat di Belakang Perokok

Suatu fenomena yang sering kita jumpai di lapangan, adanya sebagian imam yang biasa memimpin kaum muslimin dalam mendirikan sholat. Padahal ia adalah seorang yang tercandu rokok. Hal ini pernah ditanyakan oleh sebagian kaum muslimin kepada para ulama tentang sikap kita. Seorang penanya berkata, "Bolehkah sholat di belakang seorang imam yang suka merokok. Perlu diketahui bahwa imam ini bukan imam tetap, bahkan ia hanya memimpin sholat jama’ah, karena Cuma ia yang pintar membaca Al-Qur’an di antara jama’ah yang ada di sekitar masjid?"

Para ulama tersebut menjawab, "Merokok adalah haram, karena telah terbukti bahwa membahayakan kesehatan, dan termasuk sesuatu yang khobits (buruk lagi menjijikkan), serta bentuk pemborosan. Allah sungguh telah menyifati Nabi-Nya –Shollallahu alaihi wa sallam-,

"…dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk…". (QS. Al-A’raaf: 157)

Adapun hukum sholat di belakang; jika karena seorang tidak sholat di belakangnya lalu menimbulkan luputnya sholat jumat atau sholat jama’ah atau muncul masalah (antara jama’ah), maka wajib sholat di belakangnya, demi mendahulukan mudhorot yang lebih ringan atas mudhorot yang lebih besar. Jika ada sebagian orang yang tidak sholat di belakangnya , sedang ia tidak khawatir luputnya sholat jumat atau jama’ah atau tidak muncul mudhorot (masalah dan perseteruan), tapi mengakibatkan tercegah dan berhentinya ia merokok, maka wajib untuk tidak sholat di belakangnya sebagai kecaman baginya dan dorongan baginya dalam meninggalkan sesuatu yang diharamkan baginya (yakni, merokok). Demikian itu termasuk bagi mengingkari kemungkaran. Jika kita meninggalkan sholat di belakang, tidak menimbulkan mudhorot, tidak luput dari sholat jumat dan jama’ah, serta tidak bergeming dengan hal itu, maka sikap paling utama, memilih sholat di belakang orang yang tidak serupa dengannya dalam hal kefasikan dan maksiat. Demikian itu lebih sempurna bagi sholatnya, dan lebih menjaga agamanya. Wabillahit taufiq, wa shollallahu ala Nabiyyina wa alihi wa shohbihi wa sallam". [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta' (9/408-409)]

* Soal Kedua: Hukum Penjual Rokok

Sebagian kaum muslimin yang memiliki profesi dagang, biasa menjual rokok, karena banyaknya keuntungan yang bisa diraup dari hasil penjualan, apalagi jika ada diskon dari perusahaan rokok.

Sekarang ada baiknya kita mendengarkan seorang penanya berkata, "Apa hukum Islam tentang orang menjual rokok yang dijual karena adanya keringanan (diskon) dari arah perusahaan rokok?"

Para ulama’ Al-Lajnah Ad-Da’imah menjawab, "Merokok adalah haram; menanam tembakau adalah haram; berdagang rokok adalah haram, karena pada rokok terdapat bahaya besar. Sungguh telah diriwayatkan dalam sebuah hadits,

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

"Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain". [HR. Ibnu Majah (2341)]

Rokok juga termasuk khoba’its (sesuatu yang busuk, jelek lagi menjijikkan). Sunnguh Allah -Ta’ala- telah berfirman tentang sifat Nabi –Shollallahu alaihi wa sallam-,

"…dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk…". (QS. Al-A’raaf: 157)

Allah –Subhanahu- berfirman,

"Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik". Al-Ayat (QS. Al-Maa’idah: 4) [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta' (15/85-86)]

* Soal Ketiga: Hukum Menjual Rokok karena Perintah Orang Tua

Terkadang ada sebagian orang telah mengenal haramnya merokok dan menjual rokok. Namun ia bingung ketika ia diperintahkan oleh orang tuanya untuk menjual barang haram itu. Dia bingung, apakah ia mentaati Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- ataukah ia mentaati orang tuanya?!

Seorang penanya pernah bertanya tentang menjual rokok karena adanya perintah dari orang tua. Apakah hal itu adalah udzur baginya?

Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah menjawab, "Merokok adalah haram, jual-beli rokok adalah haram, walaupun hal itu terjadi atas perintah dari orang tua atau selainnya, karena adanya hadits dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda,

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

"Sama sekali tak ada ketaatan kepada seorang makhluk dalam bermaksiat kepada Yang Maha Pencipta -Azza wa Jalla-". [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (1041)]

Beliau juga bersabda,

إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

"Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf". (HR. Al-Bukhoriy & Muslim) [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta' (15/113)]

* Soal Keempat: Hukum Menanam Tembakau

Diantara sebab utama banyaknya produksi, karena adanya ta’awun (kerja sama) antara pedagang dengan petani tembakau. Para petani itu terkadang merasa bahwa ia tidak terkena dosa jika ia menanam tembakau. Sebab ia beralasan bahwa bukan mereka yang membuat rokok, tapi para pemilik perusahaan rokok.

Benarkah para petani tidak terkena dosa; dalam artian bahwa pekerjaannya tidak haram??! Kini ada baiknya kita simak seorang penanya pernah berkata, "Bagaimana hukum Islam tentang tentang menanam tembakau dan harta yang dikumpulkan oleh para petani tembakau dari hasil penjualan tembakau tersebut?"

Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah menjawab, "Tidak boleh menanam tembakau, menjual, dan menggunakannya, karena rokok haram dari beberapa sisi; karena beberapa madhorot (bahaya)nya yang besar dari sisi kesehatan, karena keburukannya, tidak ada faedahnya. Wajib bagi seorang muslim untuk meninggalkannya, menjauhinya, tidak menanamnya dan tidak pula memperdagangkannya, karena jika Allah mengharamkan sesuatu, maka Dia mengharamkan harganya, Wallahu A’lam". [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta' (15/120)]

* Soal Kelima: Wajib Bertaubat dari Rokok

Ada diantara kita yang menyangka bahwa merokok bukan dosa sehingga ia menyangka bahwa dirinya tak perlu bertaubat dari perbuatannya tersebut. Tapi demikiankah halnya. Biar anda tahu tingkat kekeliruan sangkaan batil itu, dengar Seorang penanya berkata, "Bagaimana hukum syari’at tentang penjual rokok dengan berbagai macam jenisnya? Saya adalah seorang perokok; saat aku mendengarkan tukang adzan, maka aku masuk masjid. Apakah wajib bagiku mengulangi wudhu’ ataukah berkumur-kumur cukup bagiku? Aku sebenarnya tahu bahwa rokok menyebabkan berbagai macam penyakit".

Para ulama besar dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh Syaikh Abdul bin Baaz memberikan jawaban, "Haram menjual rokok, karena keburukannya, dan bahayanya yang banyak. Sedang si perokok dianggap fasiq. Tidak wajib mengulangi wudhu’ karena merokok. Tapi disyari’atkan baginya menghilangkan bau yang tak sedap dari mulutnya dengan sesuatu yang bisa menghilangkannya; di samping ia wajib segera bertaubat kepada Allah dari rokok. Wabillahit taufiq wa shollallahu ala Nabiyyina wa alihi wa shohbihi wa sallam". [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta' (15/114)]

Inilah beberapa buah petikan fatwa ilmiah dari para ulama besar kita di zaman ini. Mereka menjelaskan haramnya merokok, menjual rokok, menanam tembakau, dan segala hal yang mendukung perbuatan maksiat ini, yakni merokok. Sedang Allah -Ta’ala- melarang kita bekerjasama dan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan dalam firman-Nya,

"Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah". (QS. Al-Maa’idah: 2)

Faedah : Sebagian orang terkadang berceloteh bahwa rokok tidak haram sebab tidak ada kata "rokok" dan larangannya dalam Al-Qur’an sehingga mereka menyangka bahwa merokok tidak diharamkan. Padahal sebenarnya banyak dalil-dalil dalam Al-’Qur’an yang mengandung kaedah-kaedah yang memastikan haramnya rokok. Tapi kedangkalan ilmu orang-orang yang berusaha menghalalkan rokok, menyebabkan mereka tidak dapat menemukan dalil-dalil tersebut. Hal ini mengingatkan kami dengan sebuah kisah dari Masruq bin Al-Ajda’ saat ia berkata, " Ada seorang wanita yang pernah datang kepada Ibnu Mas’ud seraya berkata, "Aku telah dikabari bahwa Anda melarang wanita dari menyambung rambut (memakai rambut palsu)? Ibnu Mas’ud menjawab, "Benar". Wanita itu bertanya, "Apakah hal itu Anda dapatkan dalam Kitabullah ataukah Anda pernah mendengarnya dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Ibnu Mas’ud berkata, "Aku telah mendapatkannya dalam Kitabullah dan dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Wanita itu berkata, "Demi Allah, sungguh aku telah membolak-balik diantara dua lembar (cover) mushaf, tapi aku tak menemukan di dalamnya sesuatu yang anda nyatakan". Ibnu Mas’ud berkata, "Apakah engkau menemukan (s ebuah ayat) di dalam mushaf (yang berbunyi):

"Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka terimalah,. dan apa saja yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah". (QS. Al-Hasyr: 7)

Wanita itu menjawab, "Ya". [HR. Ahmad (3749). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ghoyah Al-Marom (93)]

Memakai rambut palsu tak ada dalil yang mengandung lafazh larangannya dalam Kitabullah, tapi dalil-dalil yang melarang hal tersebut secara tersirat terdapat dalam Kitabullah, sebab menyambung rambut alias menggunakan rambut palsu termasuk bentuk penipuan dan kedustaan. Sedang larangan berdusta dan menipu banyak di dalam Al-Qur’an. Demikian pula rokok, memang tak ada kata dan lafazh "rokok" dalam Al-Qur’an. Tapi larangan tersebut sebenarnya ada secara tersirat, sebab rokok termasuk perbuatan tabdzir (menghambur harta), membahayakan diri, mengganggu orang lain, menzholimi diri dan orang lain, suatu sebab besar orang mengidap penyakit, bahkan penyebab kematian!! Bukankah di dalam Al-Qur’an terdapat larangan tabdzir, membahayakan diri, mengganggu orang lain, menzholimi diri dan orang lain, membunuh diri sendiri?! Jawabnya, "Jelas ada!!". Jadi, nyatalah keharaman rokok berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 110 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

(Sumber http://almakassari.com/artikel-islam/fiqh/siapa-bilang-rokok-haram.html)